Kawin Siri

Perkawinan dalam bahasa arab adalah “nikah”. Artinya ada arti sebenarnya ada arti kiasan. Arti sebenarnya nikah adalah “ dham” yang artinya “menghimpit”, “menindih”, atau “berkumpul. Arti kiasannya adalah sama dengan “wathaa” yang artinya “bersetubuh”.
Menurut hukum islam, nikah itu pada hakikatnya ialah “aqad” antara calon suami-istri untuk memperbolehkan keduanya bergaul sebagai suami-istri. “aqad” artinya ikatan atau perjanjian. Jadi “aqad nikah” artinya perjanjian untuk mengikatkan diri dalam perkawinan antara seorang wanita dan seorang laki-laki (Asmin 1986 : 28)

Menurut Haviland (1985:77) perkawinan adalah suatu transaksi dan kontrak yang sah dan resmi antara seorang wanita dan seorang pria yang mengukuhkan hak mereka yang tetap untuk berhubungan seks antara satu sama lain dan menegaskan bahwa si wanita yang bersangkutan sudah memenuhi syarat untuk hamil dan melahirkan.
Menurut Koentjaraningrat (1992: 93), perkawinan adalah suatu peralihan atau lifecycle dari tingkat hidup remaja ke tingkat hidup berkeluarga dari semua manusia didunia. Dengan demikian, dipandang dari sudut pandang kebudayaan manusia, maka perkawinan merupakan pengatur tingkah laku manusia yang bersangkut paut dengan kehidupan seksnya, ialah kelakuan-kelakuan seks, terumata persetubuhan. Selain sebagai pengatur kelakuan seksnya, perkawinan juga mempunyai berbagai fungsi lain dari kehidupan kebudayaan dan masyarakat manusia. Pertama memberi ketentuan hak dan kewajiban serta perlindungan kepada hasil persetubuhan, yaitu anak-anak. Juga perkawinan juga memenuhi kebutuhan manusia akan seorang teman hidup; memenuhi kebutuhan akan harta, akan gengsi, dan kelas masyarakat; dan pemeliharaan akan hubungan baik antara kelompok-kelompok kerabat tertentu sering juga merupakan alasan dari suatu perkawinan.
Ada 2 jenis perkawinan yaitu :
Perkawinan di KUA
Yang dimaksud dengan perkawinan di KUA disini adalah perkawinan yang dilakukan di KUA atau perkawinan yang dilakukan didepan PPN dan dicatatkan di KUA, seperti yang diatur dan ditentukan oleh UU no. 1 tahun 1974.
Perkawinan Sirri
Yang dimaksud dengan perkawinan sirri adalah perkawinan yang tidak dilakukan dihadapan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dan tidak dicatatkan di KUA. Perkawinan ini oleh Ramulyo disebut dengan istilah perkawinan dibawah tangan. Perkawinan ini biasanya dilakukan oleh kiai atau ulama atau orang yang dipandang telah mengetahui hokum-hukum munakahat (pernikahan) (Muhdhor 1994:22)
Kata sirri berasal dari bahasa arab sirra, israr yang berarti rahasia (Yunus 1973:167). Kawin sirri menurut artinya adalah nikah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi atau rahasia. Sedangkan dalam prakteknya dimasyarakat kawin sirri adalah perkawinan yang tidak disaksikan oleh orang banyak dan tidak dilakukan didepan PPN atau dicatat di KUA setempat
Sejarah dan Perkembangan Kawin Sirri.
Istilah kawin sirri, sebenarnya bukan masalah baru dalam masyarakat islam, sebab kitab Al-muwatha’, mencatat bahwa istilah kawin sirri berasal dari ucapan Umar bin Khattab r.a ketika diberitahu bahwa telah terjadi perkawinan yang tidak dihadiri oleh saksi kecuali oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka dia berkata yang artinya “Ini nikah sirri dan aku tidak memperbolehkannya, dan sekiranya aku dating pasti aku rajam”.[1]
Pengertian kawin sirri dalam persepsi Umar tersebut didasarkan oleh adanya kasus perkawinan yang hanya dengan menghadirkan seorang saksi laki-laki dan seorang perempuan. Ini berarti syarat jumlah saksi belum terpenuhi, kalau jumlah saksi belum lengkap meskipun sudah ada yang datang. Maka perkawinan semacam ini menurut Umar dipandang sebagai nikah sirri[2]. Ulama-ulama besar sesudahnya pun seperti Abu Hanifah, Malik, dan Syafi’I berpendapat bahwa nikah sirri itu tidak boleh dan jika itu terjadi harus difasakh (batal)[3]. Namun apabila saksi telah terpenuhi tapi para saksi dipesan oleh wali nikah untuk merahasiakan perkawinan yang mereka saksikan, ulama besar berbeda pendapat. Imam Malik memandang perkawinan itu pernikahan sirri dan harus difasakh, karena yang menjadi syarat mutlak sahnya perkawinan adalah pengumuman (I’lan). Keberadaan saksi hanya pelengkap. Maka perkawinan yang ada saksi tetapi tidak ada pengumuman adalah perkawinan yang tidak memenuhi syarat. Namun Abu Hanifah, Syafi’I, dan Ibnu Mundzir berpendapat bahwa nikah semacam itu adalah sah.Abu Hanifah dan Syafi’i menilai nikah semacam itu bukanlah nikah sirri karena fungsi saksi itu sendiri adalah pengumuman (I’lan). Karena itu kalau sudah disaksikan tidak perlu lagi ada pengumuman khusus. Kehadiran saksi pada waktu melakukan aqad nikah sudah cukup mewakili pengumuman, bahkan meskipun minta dirahasiakan, sebab menurutnya tidak ada lagi rahasia kalau sudah ada empat orang. Dengan demikian dapat ditarik pengertian bahwa kawin sirri itu berkaitan dengan fungsi saksi. Ulama sepakat bahwa fungsi saksi adalah pengumuman ( I’lan wa syuhr) kepada masyarakat tentang adanya perkawinan. (Zahra dalam Nasution 2002:163)
Akan tetapi dalam perkembangannya dalam masyarakat islam, kawin sirri dipandang sebagai perkawinan yang sah menurut agama. Wirawan (dalam Hariadi 1994:4) menyatakan perkawinan sirri merupakan sebagai salah satu bentuk perkawinan yang dikenal oleh masyarakat Indonesia, yaitu suatu perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat islam dengan modin atau kyai sebagai pelaksananya (yang mengukuhkan). Sementara Muhammad (1991) menyebutkan bahwa kawin sirri dalam pandangan islam adalah perkawinan yang dilaksanakan sekedar untuk memenuhi ketentuan mutlak untuk sahnya akad nikah yang ditandai dengan adanya :
1. Calon pengantin laki-laki dan perempuan
2. Wali pengantin perempuan
3. Dua orang saksi
4. Ijab dan Qobul
Syarat-syarat diatas disebut sebagai rukun atau syarat wajib nikah.
Selain itu terdapat sunah nikah yang perlu juga dilakukan sebagai berikut :
Khutbah nikah
pengumuman perkawinan dengan penyelenggaraan walimah/perayaan
menyebutkan mahar atau mas kawin
dengan demikian dalam proses kawin sirri yang dilaksanakan adalah rukun atau wajib nikahnya saja, sedangkan sunah nikah tidak dilaksanakan, khususnya mengenai pengumuman perkawinan atau yang disebut waliyah/perayaan. Dengan demikian orang yang mengetahui pernikahan tersebut juga terbatas pada kalangan tertentu saja. Keadaan demikian disebut dengan sunyi atau rahasia atau sirri. Pada perkembangan selanjutnya istilah sirri ini dikaitkan dengan aturan-aturan yang ditetapkan pemerintah kawin sirri bermakna kawin yang tidak dicatatkan petugas yang telah ditunjuk oleh pemerintah KUA. Sebagaimana dikatakan Ramulyo (2002:239) yaitu perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang Islam, memenuhi baik rukun maupun syarat-syarat perkawinan tetapi tidak didaftarkan pada PPN seperti diatur dan ditentukan UU No. 1 tahun 1974.
Kawin Sirri Dalam Pandangan Hukum Islam
Merujuk pada sejarah dan perkembangannya, kawin sir pada awalnya merupakan perkawinan yang dilarang dalam Islam karena tidak memenuhi rukun dan syarat perkawinan yang berupa saksi. Ulama besar seperti Abu Hanifah, Malik dan Syafi’I sepakat kalau perkawinan tersebut harus di fasakh. Namun dalam perkembangannya dimasyarakat Islam, kasin sirri merupakan perkawinan yang memenuhi rukun dan syarat-syarat perkawinan sehingga masyarakat memandang sah menurut agama (Islam). Kemudian kawin sirri berkembang kembali ketika dikaitkan dengan aturan-aturan yang ditetapkan pemerintah sehingga kawin sirri bermakna perkawinan yang tidak dicatatkan di KUA (Ramulyo, 2002:239).
Meskipun kawin sirri sah menurut Islam tapi hal tersebut kurang sesuai dengan ajaran Islam karena Nabi Muhammad SAW bersabda: “Umumkanlah perkawinan itu” dan firman Allah yang artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada rasul dan kepada pemerintah yang sah (ulil ‘amri minkum). Berdasarkan firman tersebut, maka orang yang melakukan kawin sirri berarti tidak taat pada pemerintah yang telah menetapkan untuk mencatatkan perkawinan pada KUA.
Kawin Sirri dalam Pandangan Hukum Negara
Kawin sirri kalau dihubungkan dengan hokum Negara sebenarnya berkaitan dengan pencatatan perkawinan pada instansi pemerintah yang berwenang yaitu KUA, sebagaimana diatur oleh Undang-undang UU No. 1 tahun 1974, sebenarnya bukanlah UU pertama yang mengatur tentang pencatatan perkawinan bagi muslim Indonesia. Sebelumnya sudah ada UU no 22 tahun 1946, yang mengatur tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.
Tentang pencatatan perkawinan dalam UU no 22 tahun 1946 disebutkan:
Perkawinan diawasi oleh PPN
Bagi pasangan yang melakukan perkawinan tanpa pengawasan dari PPN dikenakan hukuman karena merupakan satu pelanggaran.
Lebih tegas tentang pencatatan dan tujuan pencatatan perkawinan ditemukan pada penjelasannya, bahwa dicatatkannya perkawinan agar mendapat kepastian hokum dan ketertiban.
Ketika menjelaskan hukuman bagi pasangan yang melakukan perkawinan tanpa pengawasan disebutkan, maksud hukuman bagi pasangan yang melanggar adalah agar aturan administrasi ini diperhatikan, tetapi tidak mengakibatkan batalnya perkawinan. Dari penjelasan ini sangat tegas terlihat bahwa fungsi pencatatan tersebut hanyalah bersifat administrastif, bukan syarat sah atau tidaknya perkawinan.
Kemudian dalam UU No. 1 tahun 1974, yang pelaksanaannya berlaku efektif mulai tanggal 1 Oktober 1975, tentang pencatatan perkawinan disebutkan, “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan Perundang-undangan yang berlaku”. Sementara pada pasal lain disebutkan, “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hokum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Sedangkan dalam penjelasan terhadap UU No. 1 tahun 1974 tentang pencatatan dan sahnya perkawinan disebutkan :
tidak ada perkawinan diluar hukum agama
maksud hukum agama termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Kemudian dalam PP No. 9 Tahun 1975, yang merupakan peraturan tentang pelaksaan Undang-undang No. 1 tahun 1974, disebutkan bahwa perkawinan menurut penganut Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat, dengan tata cara (proses) pencatatan yang dimulai dengan :
pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan.
pelaksanaan akad nikah dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.
Penanda tanganan Akta Perkawinan oleh kedua saksi, pegawai pencatat dan wali.
Dengan penanda tanganan tersebut berarti proses pencatatan perkawinan telah selesai. Bagi orang yang tidak memberi tahu kepada Pegawai Pencatat tentang kehendak melaksanakan perkawinan atau melaksanakan perkawinan tidak dihadapan Pegawai Pencatat, termasuk perbuatan melanggar yang dapat dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Tp. 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah).
Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia disebutkan, tujuan pencatatan perkawinan yang dilakukan dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah adalah untuk terjaminnya ketertiban perkawinan. Namun ditegaskan, perkawinan yang dilakukan diluar Pegawai pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum, dan perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
Dari teks-teks Perundang-undangan Indonesia yang berbicara tentang pencatatan perkawinan tampak bahwa fungsi pencatatan hanya sekedar urusan administrasi, bukan sebagai syarat sah atau tidaknya suatu pernikahan (akad nikah) (Nasution, 2002:146-149). Namun kalau teks-teks tersebut dihubungkan dengan pasal pasal lain yang ada dalam batang tubuh Undang-undang, khususnya UU No. 1 tahun 1974 secara keseluruhan, dan dihubingkan dengan Perundang-undangan lain yang pernah berlaku di Indonesia, ternyata memunculkan pro dan kontra tentang fungsi pencatatan. Sebagian pemikir berpandangan, pencatatan menjadi syarat sah, sementara yang lain memandangnya sebagai syarat administrasi.
Kelompok yang berpendapat pencatatan sebagai syarat sah perkawinan secara umum adalah kelompok sarjana dan ahli hukum yang selama ini tunduk dan melaksanakan perkawinan berdasarkan hukum perdata, dan ordonansi Perkawinan Kristen Indonesia, yang hanya dengan adanya akta perkawinan dapat dibuktikan sahnya perkawinan (berdasarkan pasal 100 B.W). mereka berpendapat bahwa saat mulai sahnya perkawinan adalah setelah pendaftaran/pencatatan perkawinan.
Adapun kelompok yang berpendapat bahwa pencatatan hanya sebagai urusan administrasi, umumnya dipegang kaum muslim dan juga banyak ahli-ahli hukum, bahwa saat mulai sahnya perkawinan bukan pada saat pendaftaran/ pencatatan. Pendaftaran tersebut hanyalah berfungsi sebagai administrasi belaka. Sedang saat mulai sah perkawinan adalah setelah ijab Kabul (Syahar dalam Nasution 2002: 158-160).
(Irsyad Faizal Liesfi, penulis adalah Mahasiswa
di Universitas Airlangga Surabaya)
[1] Lihat Al-Muwatha’ II, Dar Al-Fikri, hal 439.
[2] Lihat Aziz dalam Jurnal Ilmiah Mihrab, edisi September 2001.
[3] Lihat Bidayatul Mujtahid hal 17.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
phoenix indonesia band © 2012 | Designed by Meingames and Bubble shooter