Kontroversi Kawin Kontrak

Surabaya – Besaran suatu berita sering tergantung pada kebetulan belaka. Wakil Presiden Jusuf Kalla kebetulan bikin pernyataan soal “janda-janda di Puncak” kawin dengan lelaki Arab Saudi. Sebulan kemudian petugas kepolisian dan imigrasi Bogor kebetulan bikin razia terhadap pasangan “kawin kontrak” di Puncak. Maka kebetulan itu jadi berita besar.

Jusuf Kalla menyampaikan pendapatnya akhir Juni lalu dalam “Simposium Strategi Pemasaran Pariwisata di Kawasan Timur Tengah” di hadapan para pengusaha turisme. Kalla berpidato, “Kalau ada masalah janda di Puncak itu urusan lain. Jadi orang-orang Arab yang mencari janda-janda di kawasan Puncak bisa memperbaiki keturunan.”
“Nanti mendapat rumah kecil, rumah BTN, ini artinya kan sah-sah saja. Walau kemudian para turis tersebut meninggalkan mereka, ya tidak apa-apa. Karena anak-anak mereka akan punya gen yang bagus bisa menjadi aktor-aktris TV yang cakep-cakep,” tambah Kalla.
Kebetulan wartawan The Jakarta Post Rendi Witular, yang biasa meliput kegiatan Presiden dan Wakil Presiden, memutuskan mengambil kutipan seminar tersebut. Witular menterjemahkan kalimat Kalla menjadi, “If there are a lot of Middle East tourists traveling to Puncak to seek janda, I think that it’s OK. The children resulting from these relationships will have good genes. There will be more television actors and actresses from these pretty boys and girls.”
Jusuf Kalla pun muncul di halaman depan The Jakarta Post. Pembaca harian ini meliputi diplomat dan kalangan internasional. Aktivis perempuan angkat suara. Sekitar 70 organisasi perempuan, termasuk Fatayat Nahdatul Ulama, Institut Ungu, Kalyanamitra dan Srikandi Demokrasi Indonesia, bikin pertemuan media di Jakarta. Kaukus Perempuan –kumpulan semua legislator perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat—berniat memanggil Kalla. Ucapannya dikutip media internasional, dari bahasa Inggris hingga Mandarin, dari Jerman hingga Arab. Maka kantor Wakil Presiden segera bikin pertemuan pers guna meredakan kemarahan orang. Kalla mengakui ia hanya “kelakar.” Ia sama sekali tak punya keinginan merendahkan perempuan.
Maka kelakar itu mereda. Tapi sebulan kemudian, polisi dan petugas imigrasi Bogor menangkap 17 pasangan kawin kontrak di daerah Cisarua, Puncak. Sebagian besar pelaku pria berasal dari Arab Saudi. Sedangkan perempuan lokal yang menjadi pasangannya punya latar belakang beragam termasuk dua mahasiswi di Jakarta. Mereka berumur sangat muda untuk pernikahan biasa, antara 18 hingga 20 tahun.
Operasi terhadap praktik kawin kontrak itu dilakukan sejak Senin (31/7) dini hari hingga Selasa sore (1/8). Sasaran utama sejumlah vila dan hotel di wilayah tersebut. Sasaran pertama adalah Villa Cokro di Ciburial. Petugas bermaksud melakukan operasi terhadap warga asing yang ada di sana. Tetapi petugas harus gigit jari karena mereka sudah pergi. Polisi mengatakan kemungkinan kedatangan petugas sudah dibocorkan para tukang ojek sekitar Villa Cokro.
Warta Kota melaporkan petugas lalu bergerak ke Vila Aldita di Warung Kaleng, Desa Tugu. Disana ada empat pasangan kawin kontrak: Diana(20)-Mohammad Almuhana; Riyani (20)-Sulaeman Saud A Altraigi, Nina Lestari (18)-Ali Dhafer M Aldosari, Yuli Astuti (19)-Abdullah Shuraie Alhrarshah.
Almuhana warga negara Arab Saudi. Dia kawin dengan Diana pada 31 Agustus 2005, dengan mas kawin Rp 3 juta. Wali nikahnya Salim. Mereka dikawinkan dengan perantara “Ratna” yang mendapatkan uang jasa sebesar Rp 1,5 juta. Sedangkan Diana mendapatkan uang Rp 1,5 juta.
Riyani menjadi istri kontrak Sulaeman Saud A Altraigi setelah dikawini pada 15 Agustus 2003 di sebuah hotel di kawasan Senen, Jakarta. Ibunda Riyani, yakni Rosillah, bertindak sebagai saksi. Sedangkan pamannya, Husen, bertindak sebagai wali. Mas kawinnya berupa uang tunai sebesar Rp 10 juta.
Ali Dhafer kawin dengan Nina Lestari pada 30 Juli 2006 di Vila Aldita. Dalam kesepakatan mereka, setiap hari Ali harus memberi uang kepada Nina sebesar Rp 500.000. Tetapi Nina mengatakan Ali belum pernah membayar. Yuli Lestari dikawin kontrak oleh Abdullah Shuraie pada 30 Juli 2006. Abdullah berjanji membayar Rp 500.000 setiap hari. Namun Yuli juga belum menerima pembayaran itu.
Petugas melanjutkan operasi ke Villa GBI dimana mereka memeriksa dua pasangan kawin kontrak: Marini (19)-Saad Mousa A Alshamrani dan Erni Kurniawati (18)-Abdul Rahman Awad A Alshamrani.
Kepala Imigrasi Bogor Yeyet Oking mengatakan ada enam warga Arab Saudi bakal dideportasi. Mereka juga diduga melanggar UU No 9/1992 tentang Keimigrasian karena menyalahgunakan visa turis untuk menikahi perempuan Indonesia. Ini diduga mengganggu ketertiban umum dan jika terbukti akan dikenai hukuman enam tahun penjara.
Kepala Polisi Bogor Kombes Sukrawadi Dahlan mengatakan jaringan bisnis kawin kontrak ini sebenarnya sangat kuat mengakar di masyarakat dan melibatkan beberapa oknum. “Karena itu sudah menjadi ladang mencari nafkah kebutuhan sebagian warga. Akibatnya kami sempat dihalang-halangi pada saat melakukan operasi ini.”
Sebuah tafsir dalam Islam di Saudi Arabia berpendapat kawin misyar sah bila mempelai perempuan disaksikan walinya, ada penghulu, ada saksi dan mempelai lelaki membayar mas kawin. Namun kriteria ini dianggap hanya legalitas belaka karena esensi perkawinan –kedua mempelai maupun anak-anak mereka dilindungi hukum negara dan masyarakat—tidak dipenuhi.
Para aktivis perempuan mengatakan kawin kontrak adalah penyakit kronis di Pulau Jawa dan beberapa pulau lain. “Pemerintah harus dapat melihat masalah kawin kontrak sebagai masalah nasional, bukan hanya isu perempuan,” cetus Ratna Bataramurti dari Lembaga Bantuan Hukum Apik.
Masalah ini juga rumit dengan adanya sindikasi kejahatan. Kawin kontrak sering digunakan sebagai batu loncatan untuk perdagangan bayi. “Dalam beberapa kasus di Batam para perempuan hanya dikawin kontrak, setelah melahirkan anak mereka pun dijual ke luar negeri,” kisah Mariana Amiruddin dari Jurnal Perempuan.
Mariana mengatakan kawin kontrak muncul karena adanya sindrom Cinderella Complex. Para perempuan dari keluarga kurang mampu, biasanya bermimpi suatu saat akan ada pangeran yang datang menyelamatkan mereka dari kesulitan hidup.
Berasal dari keluarga miskin dengan pengetahuan hukum kurang, mereka senang bertemu lelaki asing. Tak disangka, sang pangeran justru menyekap mereka layaknya hewan dengan tujuan utama menghasilkan anak sebanyak-banyaknya. Anak-anak ini kemudian dijual ke luar negeri dengan harga tinggi. Jurnal Perempuan mendokumentasikan kasus ini dalam film “Don’t Buy, Don’t Sell.”
“Di negara maju, pasangan yang hidup bersama saja biasanya melakukan perjanjian secara tertulis,” papar Ratna. Jika ada anak lahir, status pertanggungannya sudah jelas. Jusuf Kalla terlalu memandang remeh kemungkinan lahirnya anak-anak ini dengan berpendapat mereka bisa jadi “bintang film” dan memperbaiki penampilan fisik “bangsa Indonesia.”
Semua yang kebetulan bukanlah kebenaran. Namun kebetulannya Jusuf Kalla dan polisi Bogor mengungkap adanya kebenaran yang pahit ini.
Dengan alasan mencari ‘teman-dekat’ lantaran kesepian di negeri orang, ekspatriat yang kerja di Indonesia mencari pasangan wanita atau lelaki. ‘Short time’ marriage- pun banyak terjadi, seumur kontrak kerja atau seusia kunjungan turis.
Masing-masing ekspatriat memiliki kekhasan, sesuai budaya negara asalnya. Ada yang suka bermukim di Puncak, ada yang tenang-tenang saja tinggal di sebuah pemukiman atau di apartemen.
Cuplikan I:
“Aku keberatan disebut kawin kontrak. Karena pada dasarnya kami saling mencintai. Dan sebelum semuanya berjalan, ada proses yang berbelit diantara kami. Layaknya orang menjajagi untuk pacaran,” kata Andre.
Apapun yang dikatakan Andre, yang jelas dalam waktu dekat ini Juliete akan kembali ke negaranya. Sementara di sisi lain tak ada ikatan yang jelas, kecuali Andre mendapatkan apartement mewah yang dikontrak Juliete selama 20 tahun, yang diatas namakan Andre -hanya saja kocek-nya Juliete.
Sebenarnya fenomena ini tidak hanya ada di ibukota Jakarta, juga terjadi di daerah yang banyak menampung ekspat. Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Sri Redjeki Sumaryoto, beberapa waktu lalu pernah mengatakan, pihaknya akan meneliti dan mengidentifikasi maraknya ‘kawin kontrak’.
Menurut Gumilar R Somantri, sosiolog dari Universitas Indonesia, Kemungkinan terjadinya hal demikian karena beberapa sebab. Pertama, ada yang menjadikan ini sebagai komoditas di mana pihak-pihak tertentu melihat peluang ini sebagai suatu usaha bisnis. Maka muncullah ‘kawin kontrak’.
Cuplikan II:
Memang benar sebagai komoditas. ‘Perkawinan’ itu sendiri berangkat dari ekspansi industri global yang makin menggila. Masuknya industri dari negeri GS, misalnya, ke dalam negeri Indonesia, bukan saja membuat mengalir produk-produk seperti otomotif, elektronik, perangkat komunikasi dan lainnya.
Tapi juga memboyong pria-pria ulet, yang tahan banting dalam berbisnis. Sebagai teknokrat atau ahli dalam bidangnya, mereka juga menduduki jabatan penting dalam beberapa perusahaan asing. Kebanyakan kaum ekspat ini datang tanpa membawa keluarga atau malah memang masih berstatus single.
Materi tak jadi masalah, bahkan terkesan amat mudah untuk bermandi uang. Terlihat dari royalnya pria-pria berkulit putih dan mata sipit ini, berfoya-foya ketika entertain malam tiba.
Sebagai pekerja asing yang stay setengah tahun hingga dua atau tiga tahun, kebutuhan biologis juga menjadi prioritas yang tak bisa diabaikan. Malah tradisi lelaki asal GS, kerja keras mati-matian, begitu tiba weekend kesenangan diri akan dimanjakan di tempat-tempat leisure. Disana seks dan wanita tetap menjadi bagian yang tak terpisahkan.
Cuplikan III:
Meski mirip dengan samen laven atau living together, namun sedikit ‘legal’. “Bedanya dengan samen leven, ‘kawin kontrak’ tidak saja bergulat dengan emosi & nafsu, tapi karena harus bertatap muka setiap hari, bertindak bak housewife, otomatis feeling ikut berbaur dalam kehidupannya.
Bisa jadi secara akumulatif jalinan cinta bakal terajut, bahkan ada kemudian menjadi pasangan resmi dan ikut ke negeri pasangannya, ketika kontrak dengan perusahaannya habis. Mungkin cinta karena terbiasa, dan kebetulan pihak pengontrak belum punya pasangan resmi di negera asalnya,” tambah comblang itu.
Khusus yang berasal dari negeri GS, pasangan yang dipilihnya tak sembarangan, namun tetap mengutamakan profil penampilan, meski akhirnya sangat tergantung selera pribadi masing-masing. Mereka banyak memilih wanita karier seperti sekretaris atau staf perkantoran, dan face nomor dua karena brain lebih diutamakan.
“Mereka juga mementingkan wanita modis, gemar berdandan, suka shopping dan suka clubbing. Itu yang disukai ekspat lelaki asal GS,” tutur comblang itu.
Cuplikan IV:
Peter John (bukan nama aslinya) tinggal di kawasan elit Jakarta Selatan, ia menikahi Desy (bukan nama sebenarnya) dengan komitmen jangka pendek, satu setengah tahun. Ia berasal dari negara KI, Eropa.
Sebagai Marketing Director perusahaan rokok internasional, kedudukannya amatlah bergengsi. Usianya yang masih 35 tahun, sedang menggebu-gebunya mengejar karier.
Banyak konsep-konsep promonya sukses di kalangan perokok putih, terutama di beberapa cafe kota metropolis. “Terus terang saya menyukai Indonesia, apalagi dengan wanitanya yang etnik dan menyenangkan,” tutur Peter, sambil mengusap rambut istrinya.
Desy (23 tahun) mempunyai penampilan keren, kulit agak gelap, rambut panjang sebahu. Dulu ia bekerja sebagai pramugari penerbangan, di tengah perjalanan dari Hongkong Jakarta mereka bertemu.
Hubungan mulanya biasa-biasa saja. Apalagi Peter diketahui persis sudah punya keluarga di negaranya. Keadaan menjadi berubah, ketika Desy terkena rasionalisasi di perusahaannya dan dalam saat bersamaan ia ditinggal kawin tunangannya dengan kekasih lamanya.
Kawin Kontrak: Antara Agama, Hukum dan Realita
Diyakini banyak kalangan kawin kontrak menimbulkan mudharat yang lebih besar ketimbang maslahah. Utamanya di pihak perempuan dan anak
Jalur kawasan Puncak pernah memiliki daya tarik baru selain pesona keindahan alamnya. Ya, kawasan dengan udara cukup sejuk itu sempat dikenal sebagai lokasi praktik kawin kontrak. Hal itu terungkap setelah aparat melakukan sweeping beberapa waktu lalu. Beberapa pelaku dideportasi ke negara asal.
Praktik kawin kontrak di Indonesia diperkirakan telah berlangsung lama. Adriana Venny, Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan, menengarai praktik ini pernah terjadi pada saat proyek pembangunan Jatiluhur. ”Saat itu, banyak tenaga-tenaga asing yang melakukan perkawinan secara kontrak dengan penduduk lokal. Ini terlihat dari struktur pola wajah anak-anaknya yang agak ’ke-indo-indo-an’” ujar Venny. Umumnya, mereka melakukan perkawinan dengan tenggang waktu lama bekerja mereka.
Di dalam agama Islam, menurut Abdus Salam Nawawi, kawin kontrak dikenal dengan istilah kawin mut’ah. Kawin mut’ah menurut Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel Surabaya itu, terjadi pada masa Rasulullah. ”Waktu itu kondisinya berbeda: darurat. Sedang dalam peperangan”. Saat itu Rasulullah mengizinkan tentaranya yang terpisah jauh dari istrinya untuk melakukan nikah mut’ah, dari pada melakukan penyimpangan. Namun kemudian Rasulullah mengharamkannya ketika melakukan pembebasan kota Mekah pada tahun 8 H/630 M.
UU 1/1974 tentang Perkawinan
Pasal 2
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Sifat kawin mut’ah ini, jelas Nawawi, lebih menitikberatkan pada kesenangan yang dibatasi oleh waktu tertentu. Atas kawin Mut’ah ini, sebagian besar ulama Islam mengharamkannya. Menimbangnya dari segi tujuan pembentukan rumah tangga, Nawawi menyatakan dirinya tidak menyetujui praktik ini.
Senada dengan Nawawi, hakim agung Rifyal Ka’bah juga berpendapat bahwa kawin mut’ah lebih mengarah pada kesenangan belaka. “Itu kan cuma kawin main-main dengan tujuan hanya untuk bersenang-senang. Kalau kita pakai common sense, akal sehat, praktek ini kan tidak bisa diterima,” tukas Rifyal.
Menurut Rifyal, secara prinsip perkawinan adalah kontrak. Namun perkawinan bukan kontrak semata. Perkawinan adalah kontrak suci karena berjanji di depan wali, saksi dan juga di depan Allah, bahwa ia akan memperlakukan pasangannya dengan baik.
Sementara itu, Abdul Moqsith Ghazali, Kepala Madrasah Ushul Fiqh Progresif Wahid Institute melihat kawin kontrak dari aspek akibat. Menurut Moqsith Ghazali, meski kawin kontrak merujuk pada Al Qur’an dan Hadist, tapi dalam konteks saat ini, harus dipertimbangkan efeknya. Positif atau negatif. Moqsith Ghazali berpendapat praktik kawin kontrak saat ini lebih banyak efek negatifnya. “Terutama kepada perempuan,” ujarnya kepada hukumonline.
Selain Nawawi, Rifyal, dan Moqsith Ghazali, nada penentangan terhadap nikah kontrak juga datang dari Quraish Shihab. ”Saya berpendapat bahwa suatu pernikahan haruslah langgeng dan didasari pula atas cinta”. Sementara, kawin kontrak menurut mantan Menteri Agama ini sifatnya tidak langgeng. Sehingga bertentangan dengan filosofi tujuan pernikahan.
Status Perkawinan
Bagaimana jika kawin kontrak terlanjur terjadi, apa akibat hukum yang muncul akibat perkawinan ini, seperti status perkawinan, pewarisan dan soal anak? Menurut Quraish Shihab, di negara yang mayoritasnya beraliran Syi’ah –aliran yang menerima konsep mut’ah- seperti Iran, status perkawinannya diakui. Bahkan status anak diakui, sehingga otomatis memungkinkan untuk menjadi ahli waris.
Namun itu di Iran, bagaimana di Indonesia? Menurut Rifyal, tidak ada akibat hukum apapun dalam perkawinan kontrak. Pasalnya, perkawinan seperti ini menurutnya adalah perzinahan. Masalahnya, praktek kawin kontrak sering ditemukan di dalam negeri. Salah satunya, ya, kasus di kawasan Puncak tadi.
Hal inilah yang mengundang keprihatinan Venny. Menurut dia, pihak perempuan dalam kawin kontrak tidak lebih dari sekedar komoditas seks. ”Kawin kontrak hanya dijadikan alasan dengan menggunakan kedok agama untuk melaksanakan prostitusi terselubung”. Selain itu, nasib anak hasil kawin kontrak pun menurut Venny tidak berbeda jauh dengan sang ibu. Hampir pasti si anak tidak akan mendapat warisan apapun. “Setelah selesai masa kontrak. Maka anak akan sepenuhnya menjadi tanggung jawab perempuan”.
Soal perempuan sebagai pihak yang mempunyai potensi dirugikan lebih besar ini diamini oleh Quraish Shihab. Ia yakin tidak ada satupun perempuan yang tidak ingin, kecuali terpaksa, pernikahannya langgeng. “Itu sebabnya jika ada orang tua yang dilamar anak gadisnya maka ia akan berpikir berulang kali untuk menerimanya”. Ini berhubungan juga dengan stereotip yang berkembang bahwa perempuan itu ibarat korek api, yang setelah dinyalakan lalu dibuang.
Kalaupun pada akhirnya kawin kontrak dilakukan, maka menurut Moqsith Ghazali, hal harus diikuti dengan dibuatnya janji perkawinan. Dalam janji perkawinan tersebut harus diatur soal status perkawinan, jangka waktu termasuk nasib si anak yang bakal lahir.
Aturan
Ketiadaan aturan hukum yang mengatur mengenai kawin kontrak dengan segala akibatnya menyebabkan beberapa pihak mendesak agar dilakukannya pembaharuan dalam hukum perkawinan. Venny misalnya, menurut Venny, ketiadaan pasal yang mengatur soal kawin kontrak mengakibatkan aparat penegak hukum menggunakan jerat hukum lain.
Mengambil contoh di kawasan puncak, warga negara asing yang biasanya merupakan pelaku praktik kawin kontrak dijerat dengan peraturan soal keimigrasian. Itu untuk warga negara asing, bagaimana dengan warga lokal, karena pelaku praktik ini tidak melulu warga negara asing.
Mendukung pendapat Venny, Moqsith Ghazali memandang saat ini harus dipikirkan untuk dibuat rancangan undang-undang mengenai kawin kontrak. Pengaturan soal kawin kontrak ini menurut Moqsith Ghazali untuk mencegah dilecehkan dan dirugikannya kaum perempuan.
Pandangan berbeda datang dari Quraish Shihab. Menurut Quraish, Undang-Undang Perkawinan (UU 1/1974, red) yang ada sekarang sudah cukup baik. ”Saya tidak melihat ada bagian dari UU tersebut yang harus ditegaskan kembali atau diperbaiki”. Menurutnya persoalan mengenai keabsahan kawin kontrak ini dapat terjawab dari salah satu pasal dari UU Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang berdasarkan agamanya masing-masing.
(HUMAIDI SHABAH, penulis adalah Pelajar
di SMK MUHAMMADIYAH 1 JAKARTA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
phoenix indonesia band © 2012 | Designed by Meingames and Bubble shooter